Kafirkah Orang yang Tidak Melakukan Izhharuddin?
Pertanyaan:
As salamu ‘alaikum wa rahmatullah...
Guru kami yang terhormat, saya memiliki pertanyaan.
Termasuk bagian dari pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah adalah menghukumi orang sebagai orang Islam bagi orang yang menampakkannya. Begitu juga termasuk dari pokok akidah Ahlus Sunnah adalah menjadikan syiar-syiar keislaman sebagai dalil atas keislaman seseorang. Inilah yang kami pelajari dari Anda.
Akan tetapi, Syaikhuna, saya telah menukilkan sebagian fatwa-fatwa Anda kepada sebagian kaum Khawarij, maka mereka mengatakan kepadaku bahwa syiar-syiar keislaman tidaklah dianggap sebagai dalil atas keislaman seseorang jika kesyirikan menyebar di antara masyarakat. Orang-orang itu terus-menerus berbicara kepada kami pada masalah ini dengan menukil ucapan-ucapan Aimmah Dakwah Najdiyyah.
Di antaranya adalah ucapan Syaikh ‘Allamah Hamd bin ‘Atiq rahimahullah, “Adapun masalah izhharuddin (menampakkan agama), banyak orang mengira bahwa jika dia telah mampu untuk mengucapkan syahadat, mengerjakan salat, tidak dihalangi ke masjid, maka dia telah menampakkan agamanya (izhharuddin) meski dia berada negeri kaum musyrikin. Sungguh dia telah keliru dalam hal ini dan sangat jauh kelirunya.”
Beliau juga berkata, “Tidaklah seorang muslim dianggap telah menampakkan agamanya (izhharuddin), kecuali jika dia telah menyelisihi setiap kelompok kekafiran dengan kekufuran yang mereka terkenal dengannya, terang-terangan memusuhinya, dan berlepas diri darinya. Maka, barang siapa yang tinggal bersama masyarakat yang kafir karena melakukan syirik, maka menampakkan agama (izhharuddin) baginya adalah dengan terang-terangan bertauhid, melarang kesyirikan, dan memperingatkan darinya. Barang siapa yang kufurnya karena menolak risalah, maka izhharuddin terhadapnya adalah dengan terang-terangan mengakui bahwa Muhammad adalah Rasullullah. Barang siapa yang kufurnya karena meninggalkan salat, maka izhharuddin terhadapnya adalah dengan mengerjakan salat. Barang siapa yang kufurnya karena loyal kepada kaum musyrikin dan masuk ke dalam ketaatan kepada mereka, maka izhharuddin adalah dengan cara memusuhinya secara terang-terangan dan berlepas diri darinya dan dari orang-orang musyrik.” [Sabil an-Najah wa al-Fikkak fi Muwalah Ahl al-Isyrak, 92, 95]
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh
Perkataan engkau mencakup masalah-masalah ini:
Masalah pertama, menganggap syiar-syiar keislaman yang muncul di setiap waktu dan tempat untuk menghukumi keislaman seseorang sebagai salah satu pokok akidah Islam. Perkara ini adalah perkara yang diketahui secara pasti dalam agama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (ma‘lum minad din bidh dharurah), maka tidak ada keperluan untuk membicarakannya lagi.
Masalah kedua, ucapan yang engkau nukilkan dari Ibnu ‘Atiq tidak membantah serta tidak pula membatalkan pokok akidah ini, bahkan perkataan ini justru dibangun berdasarkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah ini. Hal ini dikarenakan izhharuddin (menampakkan agama) dan cara untuk melakukannya tidak memiliki hubungannya sama sekali dengan masalah menghukumi keislaman seseorang karena izhharuddin (menampakkan agama) bukanlah termasuk sebagai syarat keislaman, akan tetapi ia merupakan syarat untuk melakukan safar dan bertempat tinggal di negeri kaum musyrikin menurut an-Najdiyyin (Aimmah Dakwah Najdiyyah).
Begitu juga perkataan Ibnu ‘Atiq yang engkau sebutkan dan perkataan-perkataan lainnya menerangkan masalah ini.
Masalah ketiga, Aimmah Dakwah Najdiyyah seperti Ibnu ‘Atiq menulis tanggapan atas dua kelompok:
Kelompok pertama, orang-orang yang mengambil hukum safar dan bermukim di negeri orang-orang kafir hanya karena mereka tidak dilarang melakukan ibadah fisik saja!
Ini merupakan kekeliruan dari sebagian ulama fikih di zaman mereka. Ulama dakwah Najd memiliki satu risalah tersendiri yang memberi bantahan atas mereka. Kebenaran dalam masalah ini ada bersama ulama dakwah Najd, sebagaimana yang ditunjukkan pada Alquran, sunah, dan ijmak salaful ummah.
Di antara mereka juga ada ulama fikih yang sesat yang memaksakan lawazim kepada an-Najdiyyin dalam mensyaratkan izhharuddin dengan mengafirkan orang yang tidak melakukan izhharuddin! Maka an-Najdiyyun menguasai dengan baik masalah ini dan berlepas diri dari lawazim tadi serta membuat bantahan atas orang yang menyelisihinya.
Kelompok kedua, kelompok Ghulat Takfir (orang-orang yang ekstrem dalam mengafirkan). Mereka telah salah memahami perkataan an-Najdiyyin yang membahas izhharuddin, hakikatnya, dan bahwasanya ia merupakan syarat dari diperbolehkannya melakukan safar, serta bahwasanya tidak dilarangnya melakukan ibadah fisik tidak berarti izhharuddin telah terealisasi.
Menurut sangkaan mereka, izhharuddin adalah syarat sahnya Islam. Mereka kemudian juga tidak menganggap syiar-syiar keislaman yang tampak nyata sebagai dalil untuk menghukumi keislaman orang yang tinggal di negeri orang-orang kafir! Ini merupakan kesalahan besar dari kelompok Khawarij zaman sekarang, sebagaimana saya pernah menyebutkannya!
Akan tetapi, anehnya masalah ini membingungkan engkau sampai-sampai masalah ini menjadi syubhat yang mengharuskan engkau menulis pertanyaan dan menanyakannya.
Masalah keempat, andai saja izhharuddin adalah syarat sah Islam, maka apa hukumnya orang mukmin yang sedang menyembunyikan keimanannya?
Lalu apa kandungan dari firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala, “Dan seseorang yang beriman di antara keluarga Fir‘aun yang menyembunyikan imannya berkata: Apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia berkata: Tuhanku adalah Allah; padahal sungguh, dia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu. Dan jika dia seorang pendusta, maka dialah yang akan menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika dia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta.” [QS. Ghafir: 28]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: Kamu bukan seorang yang beriman; (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberikan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” [QS. an-Nisa': 94]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, “Tidak patut bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin, kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, (hendaklah pembunuh) memerdekakan hamba sahaya mukminat.” [QS. an-Nisa': 92]
Bagaimana pun kondisinya, tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin dalam menjadikan syiar-syiar keislaman yang terang-benderang pada waktu kapan pun dan tempat mana pun untuk menghukumi keislaman seseorang.
Artinya, izhharuddin hanyalah sebatas syarat untuk berpergian dan bertempat tinggal di negeri kaum musyrikin. Sedang barang siapa yang tidak memenuhi persyaratan, maka ia bukan berarti kafir, akan tetapi ia adalah orang muslim yang fasik menurut kaum muslimin, termasuk menurut an-Najdiyyun.
Masalah kelima, berikut ini perkataan an-Najdiyyin ketika membahas izhharuddin dan bahwasanya izhharuddin merupakan syarat untuk berpergian (safar) dan menetap di negeri kaum musyrikin, bukan syarat dalam menghukumi keislaman seseorang.
Syaikhul Islam Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata pada Mukhtashar as-Sirah, halaman 30, “Ketahuilah bahwa keislaman seseorang tidaklah lurus meskipun dia menauhikan Allah dan meninggalkan kesyirikan, kecuali dengan memusuhi kaum musyriiin dan berterus terang menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada mereka.”
Cicit Syaikh Ibnu ‘Abdil Wahhab, Syaikh ‘Abdullathif bin ‘Abdurrahman, memberi komentar atas perkataan ini, “Lihatlah pada pernyataan Syaikh bahwa keislaman seseorang tidaklah lurus, kecuali dengan permusuhan dan kebencian, maka di manakah ketegasan dalam berterus terang menunjukkan permusuhan dan kebencian dari para musafir itu? Dalil-dalil yang menjadi landasan Syaikh dari Alquran dan sunah adalah sangat nampak lagi mutawatir dan perkataan ini selaras dengan perkataan para ulama muta’akhkhirin dalam hal bolehnya safar (berpergian) bagi orang yang melakukan izhharuddin, akan tetapi yang menjadi inti permasalahan adalah tentang izhharuddin itu. Bukankah permusuhan yang sangat dahsyat antara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Quraisy itu adalah karena beliau menghadapi mereka dengan cara mencela agama mereka, menjelek-jelekkan pemikiran mereka, serta hinaan terhadap tuhan-tuhan mereka? Siapa saja orang yang melakukan safar menuju mereka dan bergabung dengannya, maka apakah terbukti darinya atau dikabarkan berita tentangnya bahwa ia bisa melakukan kewajiban ini?! Justru yang terkenal lagi masyhur dari mereka adalah mereka meninggalkan itu semua, berpaling darinya serta menggunakan taqiyyah dan mudahanah (basa-basi), sedangkan bukti akan hal itu adalah sangatlah banyak.” [‘Uyyun ar-Rasail, 1/222-223]
Beliau juga berkata, “Berterus terang dengan dua kalimat syahadat dan menunjukkan keduanya secara terang-terangan adalah sama dengan berterus terang dengan permusuhan dan kebencian.”
Beliau juga berkata, “Maka perkataan tentang tidak lurusnya keislaman seseorang tadi tidaklah bermakna pada pokok keislamannya. Artinya, orang yang memahaminya sebagai pengkafiran terhadap orang yang tidak menunjukkan permusuhan menggunakan perkataan Syaikh, maka pemahamannya adalah pemahaman yang batil lagi sesat.”
Beliau juga berkata, “Perkataan Syaikh: keislaman seseorang tidaklah lurus (meskipun dia menauhikan Allah dan meninggalkan kesyirikan, kecuali dengan memusuhi kaum musyriiin dan berterus terang menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada mereka); tidaklah bermakna bahwa orang yang meninggalkannya berarti kafir seperti pemahaman orang yang sesat dan pemahaman orang-orang Khawarij yang meniadakan iman orang yang meninggalkan kewajiban.” [Lihat Mishbah azh-Zhalam, hlm. 72, 98, dan 99]
Saudara kandungnya ‘Abdullathif, Syaikh Ishaq bin ‘Abdurrahman rahimahullah, memberi komentar atas perkataannya, “Lihatlah ucapan beliau: keislaman seseorang itu tidaklah lurus, kecuali dengan terus terang menunjukkan permusuhan; artinya, Islamnya kurang dan pelakunya dihadapkan pada ancaman. Dan lihat ucapannya: dalil-dalil yang menjadi landasan Syaikh dari Alquran dan sunah adalah sangat nampak lagi mutawatir; yaitu dalil-dalil atas wajibnya terus terang menunjukkannya. Jika pun tidak, maka sesungguhnya permusuhan itu sudah pasti dimiliki oleh orang yang beriman kpeada Allah dan Rasul-Nya. Jadi, ada perbedaan antara permusuhan dengan menampakkan permusuhan. Dan dari sinilah telah keliru orang yang sangat tebal penghalang tabiatnya sehingga dia tidak mengetahui mahfum dari ungkapan dan maksud bahasanya.”
Sampai pada ucapan beliau, “Walhasil adalah sebagaimana yang telah kami terangkan sebelumnya bahwasanya izhharuddin yang bisa melepaskan tanggungan adalah membedakan diri dari para penyembah berhala dengan cara menampakkan keyakinan, berterus terang menyatakan apa yang dia yakini, serta menjauhi kesyirikan dan sarana-sarananya sehinggga orang yang keadaannya seperti ini bila dia mengetahui agama ini dengan dalilnya dan merasa aman dari fitnah, maka boleh baginya menetap di negeri kaum musyrikin. Wallahu a’lam.” [Lihat al-Ajwibah as-Sam‘iyyat li Hall al-Asilah ar-Rawafiyyat, hlm. 92 dan 97, dan ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyyah, 12/414]
Syaikh Ishaq bin ‘Abdurrahman juga berkata pada halaman 112, “Maka barang siapa yang bertempat tinggal di negeri syirik, padahal ia mampu keluar darinya, karena merasa berat dengan tanah air ataun alasan-alasan lainnya, maka ia melakukan dosa besar sehingga dikatakan: Ia adalah mukmin kurang imannya.”
Beliau juga berkata ketika menjawab sebagian syubhat pada halaman 116, “Maka jelaslah bahwa yang dimaksud adalah menetapkan iman bagi orang yang tidak berhijrah dan tidak berjihad setelah ia masuk Islam; sedang orang yang berjihad serta berhijrah, maka sungguh keimanannya telah sempurna; lalu dalil macam apa yang tedapat di dalamnya yang menunjukkan bolehnya bertempat tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin?!”
Beliau juga berkata pada halaman 140, “Walhasil: sesungguhnya orang muslim tidak dikatakan menampakkan agamanya (melakukan izhharuddin), baik dia itu seorang musafir atau orang yang mukim, sampai ia menyelisihi setiap kelompok dengan ajaran yang masyhur darinya, dan itulah yang dipahami dari perkataan salaf.”
Beliau juga berkata pada halaman 142, “Dan kami mengatakan bahwa rukhsah (keringanan) bagi orang yang mampu menampakkan agamanya (izhharuddin) adalah dengan cara terang-terangan atau membedakan diri dari mereka yang diharapkan dengannya orang lain mau masuk Islam, sebagaimana yang telah kami jelaskan kepadamu sebelumnya dari salaf, akan tetapi keringanan ini dibatasi dengan batasan aman dari fitnah.”
Saya katakan:
Perkataan Syaikhul Islam tentang kewajiban untuk terus terang menunjukkan permusuhan menjadi perkataan yang paling sulit dipahami yang dikaitkan oleh kaum Ghulat (kaum ekstremis) dan orang-orang yang berperangai kasar, baik di zaman ulama dakwah Najdiyyah maupun di zaman kita sekarang, akan tetapi — al-Hamdulillah — anak cucu Syaikh telah menjelaskan maksud perkataan Syaikh dengan cara yang tidak meninggalkan sedikit pun syubhat bagi orang yang berpendirian inshaf dan mau terus belajar.
Begitu juga Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah Alusy Syaikh rahimahullah pernah ditanya, “Apakah boleh seorang muslim berpergian ke negeri orang-orang kafir harbi dalam rangka berbisnis atau tidak?”
Beliau menjawab, “Alhamdulillah. Jika ia mampu menampakkan agamanya (izhharuddin) dan tidak loyal kepada kaum musyrikin, maka ia diperbolehkan untuk melakukannya karena sesungguhnya sebagian sahabat radhiyyallahu ‘an hum seperti Abu Bakar radhiyyallahu ‘an hu dan para sahabat lainnya telah berpergian ke negeri-negeri kaum musyrikin dalam rangka berbisnis dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dan juga selainnya. Sedang jika ia tidak mampu menampakkan agamanya (melakukan izhharuddin), juga tidak mampu untuk tidak memberikan loyalitas kepada mereka, maka ia tidak boleh berpergian ke negeri-negeri mereka, sebagaimana para ulama telah menetapkannya. Begitu juga sebagaimana kandungan hadis-hadis yang menunjukkan larangan perbuatan tersebut karena Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah mewajibkan atas setiap insan untuk mengamalkan tauhid dan memusuhi kaum musyrikin sehingga ketika berpergian ke negeri kaum musyrikin menjadi penyebab dari tidak mampunya mengamalkan tauhid dan memusuhi kaum musyrikin, maka ini tidak diperbolehkan. Begitu juga, jika perbuatan ini telah menyebabkan orang menjadi menyepakati mereka dan meridai mereka, sebagaimana ini terjadi pada banyak orang fasik dari kaum muslimin yang berpergian ke negeri kaum musyrikin. Na‘udzubillahi min dzalik.”
Beliau kemudian ditanya, "Apakah diperbolehkan seseorang duduk di negeri orang-orang kafir dan di sana syiar-syiar kekafiran terang-benderang untuk melakukan bisnis?”
Beliau menjawab, “Jawaban atas masalah ini adalah jawaban yang sama dengan jawaban sebelumnya. Tiada bedanya antara darul harbi (negeri perang) dengan darush shulh (negeri kesepakatan). Karena setiap negeri di mana seorang muslim tidak mampu menampakkan agamanya (melakukan izhharuddin), maka tidak boleh berpergian ke sana.”
Beliau kemudian ditanya lagi, “Apakah dibedakan antara (berpergian atau bermukim) dalam jangka pendek seperti satu atau dua bulan saja dengan jangka panjang?”
Beliau menjawab, "Tiada bedanya antara jangka pendek maupun jangka panjang. Karena setiap negeri di mana seseorang tidak mampu menampakkan agamanya (melakukan izhharuddin), juga tidak mampu untuk tidak memberikan loyalitas kepada kaum musyrikin, maka tidak boleh baginya untuk bertempat di sana meski hanya selama sehari saja selama ia mampu untuk keluar dari sana.” [Lihat Futya fi Hukm as-Safar ila Bilad asy-Syirk, hlm. 165-168]
Maka secara umum, menghukumi manusia sebagai orang Islam dengan dua kalimat syahadat dan/atau syiar-syiar keislaman merupakan perkara yang diketahui dari agama secara pasti (ma‘lum minad din bidh dharurah).
Adapun menampakkan agama (melakukan izhharuddin) merupakan syarat kesempurnaan, bukan syarat sah tidaknya keimanan seseorang, karena ia merupakan syarat untuk diperbolehkannya berpergian dan bertempat tinggal di negeri orang-orang kafir disertai dengan adanya rasa aman dari fitnah pada harta benda.
Sedangkan membenci orang-orang kafir dan memusuhi mereka merupakan hal yang pasti ada pada setiap hati orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Hari Kiamat, akan tetapi menampakkan permusuhan dan kebencian termasuk ke dalam bagian kewajiban agama (wajibatuddin) berdasarkan kemampuan, bukan termasuk syarat sahnya keimanan.
Wallahul muwwafiq.
Ya Allah, limpahkan selawat serta salam atas Nabi Muhammad dan keluarganya seluruhnya.
Abu Salman ash-Shumali (Hassan Hussain Adam)
Terjemah: Febby Angga
Komentarx
Posting Komentar