Hukum Pengkhususan Istilah "Karramallahu Wajhah" kepada ‘Ali bin Abi Thalib
Pertanyaan:
Kepada Fadhillatusy Syaikh Sulaiman bin Nashir al-'Ulwan.
Saya bersaksi kepada Allah atas kecintaan saya kepada Anda dan saya memiliki pertanyaan yang membingungkan yang ingin saya sampaikan kepada Anda.
Saya membaca di banyak kitab adanya larangan untuk mengkhususkan Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib dengan ungkapan seperti "Karramallahu Wajhah." Namun, saya tidak memahami alasan pelarangan tersebut maupun dalilnya.
Anda adalah ahli ilmu dan kami merasa tenang dengan jawaban Anda, maka kami ingin penjelasan tentang hal ini.
Jawaban:
Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Semoga Allah mencintai Anda sebagaimana Anda mencintai saya karena-Nya.
Adapun pendapat saya terkait pertanyaan Anda - semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda - adalah bahwa mengkhususkan Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib dengan ungkapan "Karramallahu Wajhah" tidak memiliki sandaran secara syar’i dan tidak pula dilakukan oleh para imam ahli hidayah maupun para ulama yang menjaga sunah.
Ungkapan ini mulai terkenal di kalangan Mutaakhkhirin dan umum digunakan oleh kelompok Rafidhah dan orang-orang jahil. Makna dari ungkapan ini adalah bahwa beliau tidak pernah sujud kepada berhala. Namun, semestinya hal ini tidak hanya berlaku bagi 'Ali radhiyyallahu 'an hu semata karena Zaid bin 'Amr bin Nufail, seorang penganut agama yang lurus yang bertauhid, juga tidak pernah sujud kepada berhala.
Zaid wafat sebelum diutusnya Nabi Muhammad ﷺ dan kisahnya masyhur dalam Shahih Bukhari dan lainnya.
Nabi ﷺ bersabda tentangnya, "Ia akan datang pada hari kiamat sebagai umat tersendiri."
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari jalur 'Abdurrahman bin Abiz Zinad, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Sa’id bin Zaid, dan sanadnya bagus.
Demikian pula dengan beberapa sahabat yang masuk Islam. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka pernah sujud kepada berhala. Para sahabat yang lahir dalam Islam, seperti Ibnuz Zubair, an-Nu’man bin Basyir, dan yang lainnya, tidak pernah sujud kepada berhala sama sekali.
Jadi, mengkhususkan 'Ali radhiyallahu 'anhu dengan ungkapan tersebut tanpa memberikan hal yang sama pada sahabat lainnya adalah perbuatan sia-sia dan merupakan perkara yang baru dalam agama.
Saya meyakini bahwa pengkhususan ini adalah salah satu bentuk propaganda Rafidhah sebagai upaya untuk merendahkan tiga khalifah yang lain. Dalam pandangan mereka, para khalifah tersebut dianggap penyembah berhala dan tidak termasuk dalam golongan kaum muslimin!!!
Seorang tokoh Rafidhah, ar-Radhawi, berkata, "Tidak ada dua orang pun di muka bumi yang berbeda pendapat bahwa tiga orang yang berada di barisan terdepan para sahabat —yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman— adalah penyembah berhala hingga mereka menghembuskan napas terakhir dalam kehidupan mereka."
Mereka juga berkata tentang Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, "Dia salat di belakang Rasulullah ﷺ dengan sebuah berhala tergantung di lehernya dan dia bersujud kepadanya."
Tentang 'Umar al-Faruq radhiyallahu 'anhu, mereka berkata, "Kekafirannya setara dengan kekafiran Iblis jika tidak lebih besar."
Tentang 'Utsman radhiyallahu 'anhu, mereka berkata, "Dia termasuk orang yang menampakkan keislaman di zaman Nabi ﷺ, tetapi menyembunyikan kemunafikan."
Ini hanyalah sedikit dari keyakinan Rafidhah terhadap para pemimpin sahabat dan tokoh besar mereka.
Dengan memahami masalah ini, maka akan menjadi jelas alasan mereka mengkhususkan 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dengan ungkapan "Karramallahu Wajhah".
Perkara ini menunjukkan kebiasaan para pengikut hawa nafsu dan kesesatan dalam mempromosikan bidah dan penyimpangan mereka serta menyebarkan syubhat dan musibah di antara Ahlus Sunnah. Kelompok Rafidhah menjadikan pujian terhadap Amirul Mukminin 'Ali radhiyallahu 'anhu sebagai tangga untuk mencela para khalifah yang lurus dan imam yang mendapatkan petunjuk. Bidah ini semakin membesar di kemudian hari dan menyebar di banyak tulisan.
Padahal hukum asalnya adalah kedudukan para sahabat adalah setara tanpa mengkhususkan sebagian di atas yang lain. Setiap sifat yang menunjukkan keutamaan 'Ali radhiyallahu 'anhu, maka Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman lebih berhak mendapatkan penyematan sifat tersebut darinya. Mereka adalah manusia terbaik setelah Rasulullah ﷺ dan Ahlus Sunnah telah bersepakat atas hal ini.
Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahih-nya, dari jalur Yahya bin Sa'id dari Nafi', dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'an huma, ia berkata, "Kami memilih yang terbaik di antara manusia pada zaman Nabi ﷺ. Kami memilih Abu Bakar, lalu 'Umar bin al-Khaththab, lalu 'Utsman bin 'Affan."
Dalam riwayat lain dengan redaksi yang berbeda melalui jalur 'Ubaidullah dari Nafi', dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia mengatakan, "Pada masa Nabi ﷺ, kami tidak mendahulukan siapa pun di atas Abu Bakar, kemudian 'Umar, kemudian 'Utsman, dan kemudian kami meninggalkan para sahabat Nabi ﷺ tanpa mendahulukan satu sama lain di antara mereka."
Telah diriwayatkan secara mutawatir bahwa Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, "Manusia terbaik setelah Rasulullah ﷺ adalah Abu Bakar, lalu Umar."
Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani rahimahullah dalam Fath al-Bari berkata, "Telah dijelaskan sebelumnya perbedaan pendapat mengenai siapa yang lebih utama setelah Abu Bakar dan 'Umar, yaitu Utsman atau Ali. Dan akhirnya, ijmak Ahlus Sunnah menyepakati bahwa keutamaan mereka sesuai dengan urutan kekhilafahan mereka."
Ditulis oleh Sulaiman bin Nashir al-'Ulwan
25 Rabiulawal 1421 H
Terjemah: Febby Angga
Komentarx