Pertanyaan:

Kepada Fadhilatusy Syaikh Sulaiman bin Nashir al-'Ulwan - semoga Allah menjaganya -.


Apa pendapat Anda tentang orang yang merendahkan martabat para sahabat dan mencela keadilan mereka?


Jawaban:

Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


Para sahabat Nabi ﷺ adalah generasi yang paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit pembebanannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang rela mengorbankan jiwa, harta, keluarga, dan rumah untuk Allah. Mereka meninggalkan kampung halaman, menjauhi orang tua dan saudara, serta mengorbankan diri mereka dengan penuh kesabaran. Mereka menginfakkan harta mereka dengan penuh harapan kepada Allah dan menghadapi musuh dengan tawakal kepada-Nya. Mereka lebih mengutamakan keridaan Allah daripada kenikmatan dunia, memilih kehinaan di jalan Allah daripada kemuliaan duniawi, dan meninggalkan tanah air mereka demi agama.


Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya ﷺ, menolongnya, dan menegakkan agama-Nya. Melalui mereka, Allah mengeluarkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dari peribadatan kepada sesama makhluk menuju peribadatan kepada Allah, dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dan dari kezaliman para tirani menuju keadilan Islam.


Allah memuji dan meridai para sahabat secara keseluruhan, sebagaimana firman-Nya, “Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 100)


Ayat ini mencakup semua sahabat, baik yang lebih dahulu masuk Islam maupun yang belakangan.


Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah, “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang di antara mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka dalam Taurat dan sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29)


Ayat tersebut bersifat umum bagi seluruh sahabat. Maka, siapa saja yang pernah bertemu Nabi ﷺ dalam keadaan beriman, walau hanya sesaat, dan meninggal dalam keadaan itu, maka ia termasuk dalam istilah sahabat dan mendapatkan pujian, sanjungan, serta keridhaan Allah. 


Hal ini ditegaskan dalam firman Allah pada Surat al-Hadid, “Tidaklah sama di antara kalian orang-orang yang berinfak sebelum penaklukan (Mekah) dan ikut berperang. Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang berinfak dan berperang sesudah itu. Tetapi Allah telah menjanjikan kepada masing-masing mereka kebaikan.” (QS. Al-Hadid: 10).


Yaitu surga.


Kesaksian bahwa mereka masuk surga ini menjadi bukti keadilan mereka yang merupakan prinsip yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka adalah pembawa syariat, penolong agama, dan pembantu sang utusan Tuhan semesta alam.


Maka, siapa saja yang berani mengambil posisi sebagai hakim terhadap para sahabat Rasulullah ﷺ, melancarkan celaan kepada salah satu dari mereka, dan mencabut keadilan mereka dengan menyamakan mereka seperti manusia biasa lainnya —yang memiliki kelebihan dan kekurangan setara— atau mengklaim bahwa keadilan hanya berlaku bagi Muhajirin dan Ansar, sedangkan yang lain dapat diragukan dan dikritik, serta keadilan mereka hanya bisa dibuktikan sebagaimana keadilan generasi setelah mereka, maka orang seperti itu telah melakukan pelanggaran besar. Ia telah membuka pintu bagi kaum zindik dan orang-orang mulhid, termasuk Rafidhah dan lainnya, untuk mencela hakikat syariat Islam, merusak prinsip-prinsipnya, dan meragukan sunnahnya.


Banyak ulama yang telah menyebutkan adanya ijmak (kesepakatan) tentang keadilan para sahabat, baik secara umum maupun spesifik. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka maksum (terjaga dari dosa), atau mustahil berbuat salah, seperti klaim yang dibuat oleh Rafidhah terhadap Ahlul Bait.


Dosa bisa saja dilakukan oleh salah seorang sahabat karena adanya alasan yang dapat dibenarkan atau ijtihad yang salah. Hal ini tidak mencoreng keadilan mereka. Allah telah memuji mereka meskipun mengetahui apa yang akan terjadi di antara mereka. Nabi ﷺ juga telah mengabarkan tentang adanya fitnah dan pertempuran di antara para sahabat, tetapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi keadilan mereka.


Peristiwa dan konflik yang terjadi di antara mereka disebabkan oleh ijtihad dan takwil mereka. Maka, siapa yang benar dalam ijtihadnya mendapatkan dua pahala dan siapa yang salah mendapatkan satu pahala serta kesalahannya dimaafkan karena ia berijtihad dengan sungguh-sungguh. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama dan dalil-dalilnya banyak.


Namun, Khawarij, Mu’tazilah, dan kelompok yang serupa dengan mereka telah menyelisihi pandangan ini. Mereka menerapkan dalil-dalil ancaman hukuman kepada individu secara spesifik, termasuk kepada para sahabat, yang mana ini merupakan pandangan yang salah dan tidak memiliki dasar. Dalil-dalil ancaman hukuman tidak ditujukan kepada para ulama yang berijtihad, apalagi para sahabat. Tidak ada satu pun di antara mereka yang dianggap sengaja menentang dalil.


Dengan ini, keadilan para sahabat secara keseluruhan menjadi jelas dan kewajiban berprasangka baik terhadap mereka semua pun tampak.


Barang siapa yang melonggarkan lisannya untuk merendahkan martabat para sahabat atau mencela keadilan mereka, maka ia telah menyalahi dalil-dalil mutawatir yang telah dipastikan kebenarannya. Ia berbicara dalam masalah ini dengan kebodohan dan kezaliman, bukan dengan ilmu dan keadilan.


Rasulullah ﷺ bersabda, "Janganlah kalian mencela para sahabatku. Demi Allah, jika salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, itu tidak akan menyamai satu mud (sedekah) mereka, bahkan tidak setengahnya."


Hadis ini kesahihannya disepakati, diriwayatkan dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Sa’id al-Khudri.


Imam Ahmad dalam Fadhail ash-Shahabah dan Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan sanad sahih dari jalur Sufyan, dari Nusair bin Dza’luq, dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'an huma, ia berkata, "Janganlah kalian mencela para sahabat Muhammad ﷺ. Sungguh, kedudukan salah satu dari mereka selama satu jam bersama nabi lebih baik daripada amal kalian seumur hidup."


Diucapkan oleh Sulaiman bin Nashir al-'Ulwan

26 Jumadilawal 1421 H


Terjemah: Febby Angga