Hukum Mendoakan Rahmat dan Ampunan kepada Ahli Bidah
Pertanyaan:
Fadhilatusy Syaikh Sulaiman bin Nashir al-'Ulwan - semoga Allah menjaganya -.
Apa hukum mendoakan rahmat dan memohonkan ampunan untuk ahli bidah yang meninggal?
Jawaban:
Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ahli bidah yang meninggal yang bidahnya tidak mengeluarkannya dari Islam, maka hukumnya seperti hukum umum kaum muslimin. Disyariatkan untuk menyalatinya (salat jenazah) meskipun tidak diwajibkan bagi setiap individu. Demikian juga diperbolehkan untuk mendoakan ampunan, rahmat, dan keridaan baginya.
Saya tidak mengetahui seorang pun dari Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa terlarang mendoakan rahmat dan memohonkan ampunan bagi ahli bidah secara mutlak. Pendapat yang melarang hal itu adalah pendapat kaum Khawarij yang menyimpang dan orang-orang sesat yang menjauh dari kebenaran.
Kaedah umum dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang mengucapkan, "La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah)," dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta kita tidak mengetahui darinya kekufuran yang nyata, maka ia disalatkan dan dimohonkan ampunan untuknya.
Sebab, ketika Allah melarang memohonkan ampunan untuk kaum musyrik dalam firman-Nya, "Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik sekalipun mereka itu kaum kerabatnya..." (QS. At-Taubah: 113).
Hal ini menjadi dalil diperbolehkannya memohonkan ampunan untuk ahli bidah dan pelaku maksiat yang masih termasuk dalam golongan Ahlul Qiblah (kaum muslimin).
Sebagian orang menyangka bahwa ketidaksediaan sebagian ulama salaf untuk menyalati ahli bidah adalah dalil pelarangan mendoakan rahmat bagi mereka. Ini adalah prasangka keliru yang bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijmak.
Kaum muslimin di wilayah Timur dan Barat dunia Islam senantiasa menyalati siapa saja yang menampakkan keislaman selama tidak diketahui adanya tanda-tanda kemunafikan atau murtad pada dirinya. Adapun jika hal itu diketahui, maka diharamkan untuk menyalatinya.
Barang siapa yang tidak diketahui memiliki tanda-tanda kemunafikan atau kemurtadan, maka tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan salat jenazah atasnya, kecuali jika ada maslahat yang nyata dalam hal itu. Sebagian ulama salaf tidak melakukan salat jenazah atas para pengikut hawa nafsu dan orang yang terang-terangan melakukan maksiat dengan tujuan agar ahli bidah berhenti dari bidahnya dan pelaku maksiat meninggalkan syahwatnya. Ini termasuk dalam upaya mengingkari kemungkaran dan mewujudkan maslahat umum bagi kaum muslimin. Perbuatan ini dibolehkan demi maslahat dan memiliki kesamaan dalam syariat.
Rasulullah ﷺ pernah meninggalkan salat jenazah atas orang yang bunuh diri, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Beliau juga tidak menyalati jenazah orang yang memiliki utang, tetapi tidak meninggalkan harta untuk melunasinya, dan berkata kepada para sahabat, “Salatkanlah jenazah teman kalian.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Demikian pula beliau meninggalkan salat atas jenazah pelaku ghulul (penggelapan harta rampasan perang), sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah, meskipun ada perbedaan pendapat dalam sanadnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah - semoga Allah merahmatinya - berkata dalam al-Fatawa, "Setiap orang yang tidak diketahui sebagai munafik, sedang dia seorang muslim, maka diperbolehkan memohonkan ampunan untuknya dan menyalatkannya. Bahkan, perkara tersebut disyariatkan dan diperintahkan, sebagaimana firman Allah, 'Dan mohonlah ampun untuk dosamu dan bagi orang-orang mukmin, laki-laki maupun perempuan.' (QS. Muhammad: 19)."
Beliau juga berkata dalam Minhaj as-Sunnah, "Setiap muslim yang tidak diketahui sebagai munafik, maka diperbolehkan untuk dimohonkan ampunan dan disalatkan jenazahnya meskipun dia memiliki bid'ah atau kefasikan. Namun, tidak diwajibkan bagi setiap individu untuk menyalatinya.
Jika tidak melakukan salat atas jenazah orang yang menyeru kepada bidah atau terang-terangan melakukan kefasikan membawa maslahat seperti untuk mencegah orang lain dari perilaku tersebut, maka tidak melakukan salat atas jenazahnya disyariatkan bagi orang yang dapat memberikan efek tersebut sehingga orang-orang menjauhi perbuatannya."
Secara umum, memohonkan ampunan untuk orang-orang musyrik dan kafir diharamkan secara syar'i dan dalil-dalilnya sangat banyak. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama.
Adapun memohonkan ampunan bagi selain mereka dari kalangan Ahlul Qiblah (kaum muslimin) adalah sesuatu yang disyariatkan berdasarkan kesepakatan dan tidak ada yang menyelisihi hal ini selain kelompok Khawarij dan Mu’tazilah.
Kelompok Khawarij adalah yang pertama kali mengkafirkan Ahlul Qiblah karena dosa-dosa. Mereka menganggap suatu dosa sebagai kekufuran meskipun bukan dosa besar dan mereka menghalalkan darah kaum muslimin.
Nabi ﷺ menyifati mereka dengan sabdanya, "Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan para penyembah berhala." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadis Abu Sa’id).
Adapun Mu’tazilah, maka mereka sependapat dengan Khawarij dalam hal menganggap pelaku dosa besar kekal di neraka serta melarang memohonkan ampunan dan mendoakan rahmat bagi mereka. Namun, mereka berbeda dalam menghukumi pelaku dosa besar di dunia karena mereka menempatkan pelaku dosa besar di posisi "antara dua posisi" (manzilah baina manzilatain). Mereka tidak menganggap pelaku dosa besar sebagai mukmin yang disyariatkan untuk dimohonkan ampunan, tetapi juga tidak menganggapnya kafir yang dijauhkan. Pandangan ini batal berdasarkan banyak dalil.
Allah Ta’ala berfirman, "Tetapi Allah menjadikan kalian membenci kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang benar." (QS. Al-Hujurat: 7).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah membedakan antara kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan, dan menjadikannya dalam tiga tingkatan:
1. Kekufuran.
2. Kefasikan, namun bukan kekufuran.
3. Kedurhakaan, yaitu dosa-dosa kecil yang berada di bawah tingkat kefasikan.
Khawarij tidak memahami hakikat ini sehingga mereka menyamakan kefasikan dengan kekufuran.
Allah Ta’ala juga berfirman, "Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Tetapi jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah. Jika mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." (QS. Al-Hujurat: 9-10)
Ayat ini menegaskan bahwa meskipun ada perselisihan hingga berujung pada pertempuran di antara orang-orang mukmin, mereka tetap dianggap sebagai saudara seiman. Maka, memohonkan ampunan dan mendoakan rahmat bagi mereka tetap disyariatkan, selama tidak ada tanda-tanda kekufuran nyata.
Allah telah menyifati kedua kelompok yang bertikai sebagai orang-orang beriman dan saudara seiman serta memerintahkan agar didamaikan antara keduanya. Ayat ini merupakan salah satu dalil terbaik untuk membantah pandangan Khawarij dan orang-orang yang mengkafirkan karena dosa.
Allah Ta’ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki." (QS. An-Nisa: 48).
Dalam ayat ini, Allah menggantungkan pengampunan atas dosa-dosa selain syirik kepada kehendak-Nya sehingga pelaku dosa tersebut tidak dianggap kafir, tidak seperti pandangan Khawarij.
Hadis-hadis tentang syafaat dan dikeluarkannya pelaku maksiat dari kalangan ahli tauhid dari neraka juga sangat banyak, bahkan mencapai derajat mutawatir. Ini adalah bantahan yang jelas terhadap pandangan Khawarij dan juga pandangan Murji’ah.
Dalam Shahih Muslim, dari jalur Hammad bin Zaid, dari Hajjaj ash-Shawwaf, dari Abuz Zubair, dari Jabir, disebutkan bahwa ath-Thufail bin Amr ad-Dausi datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau tertarik kepada benteng yang kokoh dan penuh perlindungan?" Yang dimaksud adalah benteng yang dimiliki oleh suku Daus pada masa jahiliah. Rasulullah ﷺ kemudian menolak karena Allah telah menetapkan apa yang telah disiapkan untuk kaum Anshar.
Ketika Nabi ﷺ berhijrah ke Madinah, ath-Thufail bin 'Amr juga berhijrah bersama seorang lelaki dari kaumnya. Ketika mereka tiba di Madinah, mereka merasa tidak nyaman dengan kondisi lingkungan kota tersebut, hingga lelaki itu jatuh sakit. Karena putus asa, ia mengambil pisau tajam dan memotong urat lehernya hingga ia meninggal dunia.
Kemudian, ath-Thufail bin 'Amr bermimpi melihat lelaki itu dengan keadaan yang baik, namun ia melihat kedua tangannya tertutupi. Ia bertanya, “Apa yang Tuhanmu lakukan terhadapmu?” Lelaki itu menjawab, “Allah telah mengampuni aku karena hijrahku kepada Nabi-Nya ﷺ.” Ath-Thufail bertanya lagi, “Mengapa aku melihat kedua tanganmu tertutup?” Lelaki itu menjawab, “Dikatakan kepadaku: Kami tidak akan memperbaiki apa yang telah engkau rusak.”
Ath-Thufail menceritakan mimpi tersebut kepada Rasulullah ﷺ dan Rasulullah ﷺ pun berdoa, "Ya Allah, ampunilah kedua tangannya."
Hadis sahih ini merupakan dalil yang sangat kuat untuk membantah pandangan Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa besar, serta pandangan Murji’ah yang mengatakan bahwa dosa tidak membawa dampak apapun.
Wallahu a’lam.
Diucapkan oleh:
Sulaiman bin Nashir al-'Ulwan
11 Jumadilakhir 1421 H
Terjemah: Febby
Komentarx
Posting Komentar