Apakah Pencela Rasul Langsung Kafir atau Disyaratkan Adanya Istihlal?
Pertanyaan:
Fadhillatusy Syaikh, apakah seseorang yang mencela Rasulullah ﷺ langsung menjadi kafir sekadar hanya karena mencela ataukah hal itu disyaratkan adanya istihlal (menganggap halal perbuatan tersebut)?
Jawaban:
Para sahabat, tabiin, dan orang-orang yang datang setelah mereka dari kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa siapa pun yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang merupakan kekufuran yang jelas (kufr sharih), maka ia menjadi kafir tanpa disyaratkan adanya istihlal.
Para ulama sepakat bahwa kekufuran bisa terjadi karena penolakan (juhud), pendustaan (takdzib), atau berpaling (i'radh).
Kekufuran juga bisa terjadi melalui ucapan, seperti mencela Allah, mencela Rasul-Nya ﷺ, atau memperolok-olok agama dan hukum-hukumnya; perbuatan, seperti bersujud kepada berhala, bertawaf di atas kuburan, atau menyembelih untuk jin dan patung; dan penelantaran, seperti meninggalkan keseluruhan amal tanpa terkecuali.
Ishaq bin Rahawaih dan ulama lainnya menukilkan adanya ijmak (kesepakatan) para sahabat tentang kafirnya orang yang sengaja meninggalkan salat.
Dalam Shahih Muslim, melalui jalur Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair al-Makki dari Jabir, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, “Batas antara seseorang dengan kesyirikan atau kekufuran adalah meninggalkan salat.”
Penggunaan kata "kekufuran" dalam bentuk definitif (al-kufr, ada alif lam) menunjukkan akan kufur akbar.
Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan para imam mazhab mengenai kafirnya orang yang meninggalkan shalat.
Sebagian ulama mengatakan, orang tersebut tidak kafir selama ia tidak mengingkari kewajiban salat.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa ia kafir dengan kekufuran yang besar berdasarkan ijmak para sahabat. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai kadar meninggalkan salat yang menyebabkan kekufuran.
Sebagian mengatakan, ia kafir hanya dengan meninggalkan satu salat hingga habis waktunya.
Yang lain mengatakan, ia tidak kafir, kecuali meninggalkan salat sepenuhnya.
Secara umum, Ahlus Sunnah tidak mengafirkan seseorang hanya karena pemutlakan dosa, tidak pula dengan setiap dosa, sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij dan Mu’tazilah. Kelompok ini mengkafirkan para pelaku dosa besar dan bahkan kadang menjadikan sesuatu yang bukan dosa sebagai dosa, lalu menerapkan hukum kekufuran atas hal tersebut. Mereka juga sering mengafirkan orang berdasarkan pelaziman dari ucapan mereka tanpa membedakan antara penetapan hukum atas jenis (an-nau') dan individu (al-‘ain) atau antara satu masalah dengan masalah lainnya. Lebih jauh lagi, mereka bahkan mengafirkan orang yang tidak sependapat dengan penyimpangan mereka.
Rasulullah ﷺ telah menyifati mereka dalam sabdanya, “Mereka membunuh orang-orang Islam dan membiarkan penyembah berhala.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadis Abu Sa'id al-Khudri.
Ahlus Sunnah adalah golongan yang pertengahan antara Khawarij dan Murjiah. Mereka tidak mengafirkan pelaku dosa besar selama pelakunya tidak menghalalkannya (istihlal) dan mereka tidak sepakat dengan Murji’ah yang mengatakan bahwa dosa tidak membahayakan keimanan atau bahwa seseorang tidak kafir meskipun melakukan kekufuran sampai ia meyakini kebolehannya. Pendapat ini bertentangan dengan al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijmak.
Siapa saja yang mencela Allah atau Rasul-Nya ﷺ, maka ia telah kafir tanpa harus disertai dengan syarat istihlal. Beberapa ulama telah menukilkan ijmak dalam hal ini.
Di antaranya adalah Ishaq bin Rahawaih yang mengatakan,
"Para ulama telah sepakat bahwa siapa saja yang mencela Allah atau Rasul-Nya ﷺ, menolak sesuatu yang diturunkan Allah, atau membunuh seorang nabi, sementara ia mengakui apa yang Allah turunkan, maka ia adalah kafir."
3 Jumadilakhir 1421 H
Sulaiman bin Nashir al-'Ulwan
Terjemah: Febby Angga
Komentarx
Posting Komentar